Antropologi : Sistem Religi
Definisi Religi
Asal-mula religi, para ahli biasanya mengganggap
religi sebagai sisa-sisa dari bentuk-bentuk religi yang kuno, yang dianut
seluruh umat manusia pada zaman dahulu, juga oleh orang eropa ketika kebudayaan
mereka masih berada pada tingkat yang primitif. Bahan etnografi mengenai
upacara keagamaan dari berbagai suku bangsa didunia dijadikan pedoman dalam
usaha penyusunan teori-teori tentang asal mula agama.
Prof. Dr. M. Driyarkara, S.J. mengatakan bahwa kata
agama kami ganti dengan kata religi, karena kata religi lebih luas, menganai
gejala-gejala dalam lingkungan hidup dan prinsip. Istilah religi menurut kata
asalnya berarti ikatan atau pengikatan diri. Oleh sebab itu, religi tidak hanya
untuk kini atau nanti melainkan untuk selama hidup. Dalam religi manusia
melihat dirinya dalam keadaan yang membutuhkan, membutuhkan keselamatan dan
membutuhkan secara menyeluruh.
Pengertian agama menurut Islam jauh berbeda dengan
definisi yang diberikan oleh para sarjana Barat seperti tersebut dalam
ensiklopedi Prancis yang berkisar pada 2 definisi yang dianggap ilmiah, antara
lain sebagai berikut:
a. Agama ialah
suatu jalan yang dapat membawa manusia dapat berhubungan dengan kekuatan gaib
yang tinggi;
Namun pada dasarnya religi
berasal dari kata religare dan relegare (Latin). Religare memiliki
makna ”suatu perbuatan yang memperhatikan kesungguh-sungguhan dalam
melakukannya”. Sedangkan Relegare memiliki makna ”perbuatan bersama
dalam ikatan saling mengasihi”. Kedua istilah ini memiliki corak individual
dan sosial dalam suatu perbuatan religius.
Menurut Leslie A. White, bahwa salah satu unsur yang membentuk religi itu adalah keyakinan
(beliefe) adalah salah satu bagian dari sistem ideologi, sistem tersebut
merupakan bagian dari kebudayaan.
Bagi Firth, bahwa keyakinan belumlah dapat dikatakan sebagai religi apabilah tidak
diikuti upacara yang terkait dengan keyakinan tersebut. Keyakinan dan
upacara adalah dua unsur penting dalam religi yang saling memperkuat.
Keyakinan menggelorakan upacara dan upacara merupakan upaya membenarkan
keyakinan.
Menurut Goldschmidt, upacara mengkomunikasikan keyakinan kepada sekalian orang. Kedua
tidak dapt dipisahkan, yang satu tidak terlepas dari yang lainnya.
Konsep religi yang berkaitan dengan keyakinan dikemukakan oleh Edward B.
Tylor, yang melihat religi sebagai keyakinan akan adanya makluk halus
(belief in spiritual being). Konsep umum religi sering kali berkaitan
dengan konsep makluk halus (spiritual being) dan konsep kekuatan tak nyata
(impersonal power), makluk halus diyakini ada di sekitar manusia dan
kekuatan tidak nyata diyakini memberikan manfaat selain juga menimbulkan
kerugian dan bencana.
Koentjaraningrat (bapak antropologi indonesia) mendefinisikan religi yang memuat hal-hal
tentang keyakinan, upacara dan peralatannya, sikap dan perilaku, alam pikiran
dan perasaan disamping hal-hal yang menyangkut para penganutnya sendiri.
Emile Durkheim mengartikan religi sebagai keterkaitan sekalian orang pada sesuatu yang
dipandang sakral yang berfungsi sebagai simbol kekuatan masyarakat dan saling
ketergantungan orang-orang dalam masyarakat yang bersangkutan.
Myron Bromley, bahwa religi berbeda dengan agama. Religi menekankan bentuk hubungan
dengan obyek diluar diri manusia. Obyek bersifat polyteis, lokal dan tidak
berdasarkan wahyu tertulis. Sebaliknya agama lebih menekankan pada bentuk
hubungan dengan obyek yang bersifat monotheisme, universal dan berdasarkan
wahyu tertulis serta teruji dalam sejarah yang panjang.
J. Van Ball, mengatakan bahwa religi adalah semua gagasan yang berkaitan dengan
kenyataan yang tidak dapat ditentukan secara empiris dan semua gagasan tentang
perbuatan yang bersifat dugaan semacam itu, dianggap benar. Dengan demikian,
surga atau neraka dianggap benar adanya meski tidak dapat dibuktikan keberadaannya.
Dari pengertian tersebut diatas, dapat disimpulkan beberapa hal penting tentang
religi yaitu:
§ Religi itu adalah sesuatu yang berkaitan dengan nila susila yang agung
§ Religi itu memiliki nilai, dan bukannya sistem ilmu pengetahuan. Religi
juga sesuatu yang tidak masuk akal dan bertentangan dengan rasio.
§ Religi menyangkut pula masalah yang dimiliki manusia.
§ Religi sangat mempercayai adanya Tuhan, hukum kesusilaan, dan roh yang
abadi.
Spencer, mengatakan bahwa awal mula munculnya religi adalah karena manusia sadar dan
takut akan maut. Berikutnya terjadi evolusi menjadi lebih kompleks dan terjadi
diferensiasi. Diferensiasi tersebut adalah penyembahan kepada dewa; seperti
dewa kejayaan, dewa kebijaksanaan, dewa perang, dewa pemelihara, dew
kecantikan, dewa maut, dan lain sebagainya.
Sumber penting di dalam religi
adalah adanya empat hal yang muncul yang berkaitan dengan perasaan: yakni takut,
takjub, rasa syukur, dan masuk akal. Di dalam perkembangannya,
animisme berubah menjadi politeisme, dan lalu berubah menjadi monoteisme.
Unsur-unsur Religi
Suatu sistem religi didalam suatu
kebudayaan selalu mempunyai ciri untuk sedapat mungkin memelihara emosi
keagamaan itu di antara pengikut-pengikutnya. Dengan demikian emosi keagamaan
merupakan unsur terpenting dalam suatu religi bersama dengan tiga unsur lainnya
yaitu sistem kepercayaan, sistem upacara keagamaan, umat yang menganut religi
tersebut.
1. Emosi
Keagamaan
Emosi Keagamaan adalah suatu getaran
jiwa yang pada suatu saat dapat menghinggapi seorang manusia. Getaran jiwa
tersebut ada kalanya hanya berlangsung selama beberapa detik saja. Emosi
keagamaan itulah yang mendorong manusia untuk berperilaku serba religi. Emosi
keagamaan ini yang mendasari setiap perilaku yang serba religi itu menyebabkan
munculnya sifat keramat dari perilaku tersebut, dan sifat itu pada gilirannya
memperoleh nilai keramat.
Dengan demikian segala hal yang
bersangkutan dengan perilaku keagamaan menjadi keramat. Tempat dan saat-saat
yang digunakan untuk melaksanakan perilaku keagamaan, benda-benda serta
orang-orang yang terlibat, menjadi keramat, walaupun hal-hal tersebut sebenarnya
merupakan hal yang profan.
2. Sistem
Keyakinan
Dalam rangka ini, para ahli antropologi
biasanya menaruh perhatian terhadap konsepsi tentang dewa-dewa yang baik maupun
yang jahat, sifat-sifat dan tanda-tanda dewa-dewa, konsepsi tentang
makhluk-makhluk halus lainnya seperti roh-roh leluhur, roh-roh lain yang baik
maupun yang jahat, hantu dan lain-lain, konsepsi tentang dewa tertinggi dan
pencipta alam, masalah terciptanya dunia dan alam (kosmogoni), masalah mengenai
bentuk dan sifat-sifat dunia dan alam (kosmologi), konsepsi tentang hidup dan
maut, konsepsi tentang dunia roh dan dunia akhirat dan lain-lain.
Adapun sistem kepercayaan dan gagasan,
pelajaran, aturan agama, dongeng suci tentang riwayat dewa-dewa (mitologi),
biasanya tercantum dalam suatu himpunan buku-buku yang biasanya juga dianggap
sebagai kesusasteraan suci.
3. Sistem
Upacara Keagamaan
Sistem upacara keagamaan secara khusus
mengandung empat aspek yang menjadi perhatian khusus dari para ahli antropologi
antara lain :
·
tempat upacara
keagamaan dilakukan.
·
saat-saat upacara keagamaan
dilakukan atau dijalankan.
·
benda-benda dan alat
upacara.
·
orang-orang yang
melakukan dan memimpin upacara.
Aspek pertama berhubungan dengan
tempat-tempat keramat dimana upacara dilakukan, yaitu makam, candi, pura, kuil,
gereja, langgar, surau, masjid dan lain sebagainya. Aspek kedua adalah aspek
mengenai saat-saat beribadah (prosesi peribadahan), hari-hari keramat atau suci,
dan lain sebagainya. Aspek ketiga adalah tentang benda-benda yang digunakan
dalam upacara keagamaan, termasuk patung-patung yang melambangkan dewa-dewa,
alat-alat bunyi-bunyian seperti lonceng suci, gendering suci dan lain
sebagainya. Aspek keempat adalah aspek yang mengenai para pelaku upacara
keagamaan, yaitu para pendeta, biksu, syaman, dukun, dan lain sebagainya.
Upacara-upacara itu sendiri banyak juga
unsurnya, yaitu : bersaji, berkorban, berdoa, makan bersama makanan yang telah
disucikan dengan doa, menarikan tarian suci, memainkan seni drama suci,
berpuasa, intoksikasi atau mengaburkan pikiran dengan makan obat bius untuk
mencapai keadaan trance atau mabuk, bertapa dan bersemedi.
Di antara unsur-unsur upacara keagamaan
tersebut ada yang dianggap penting sekali dalam suatu agama, tetapi tidak
dikenal oleh agama lain, dan demikian juga sebaliknya. Kecuali itu suatu acara
upacara keagamaan biasanya mengandung suatu rangkaian yang terdiri dari
sejumlah unsur tersebut.
4.
Umat yang menganut
sistem religi tersebut.
Secara khusus unsur ini meliputi
soal-soal pengikut suatu agama atau kepercayaan, hubungan antara satu umat
dengan umat lainnya, hubungan antara umat penganut kepercayaan dengan para
pemimpin agamanya baik dalam upacara keagamaan maupun dalam kehidupan
sehari-hari, organisasi dari para umat, kewajiban umat dalam menjalankan
kepercayaannya, serta hak-hak para penganutnya.
Komentar
Posting Komentar