SEJARAH AFRIKA
Politik
kolonial Prancis di Afrika
Sebelum Perang Dunia II, politik
kolonial yang dijalankan di daerah-daerah koloninya bedasarkan suatu doktrin
“asimilasi”. Teori ini didasarkan pada dugaan bahwa orang-orang Afrika dapat
dijadikan orang Prancis. Prinsip asimilasi tersebut mengandung gagasan yang
tercetus dalam zaman revolusi “equality” dan
“fraternity”, disamping itu juga
mengandung filsafat politik yang
kemudian dianut oleh Imperium Prancis yang disebut “paternalisme”.
Tujuan politik asimilasi tersebut ialah
mengintegrasi daerah milik di seberang lautan dengan Prancis, mengasimilasi
penduduk koloni dalam kerangka Prancis baik politik, sosial, ekonomi, etnis,
religius, maupun kultural. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, bahasa-bahasa
Afrika dan kebudayaannya tidak diberikan dalam pendidikan kolonial Prancis. W.B.
Mumford, dalam bukunya Africans learns to
be French, mengemukakan secara sungguh-sungguh tujuan politik kolonial
tersebut. Kesatuan antara Prancis dengan miliknya di seberang lautan yang
berupa suatu bloc francais tidak
hanya berpangkal pada pertimbangan-pertimbangan ekonomi dan politik tetapi juga
pada keyakinan orang Prancis terhadap kultur mereka yang superior. Hal ini
dihubungkan dengan anggapan bahwa tiap orang Prancis percaya akan misi kultur
Prancis yang universal dan sebagai pemberian terbesar Prancis kepada dunia.
Jadi dalam khayalan Prancis merupakan
satu blok daerah yang berpenduduk orang-orang dengan berbagai macam warna kulit
dan dengan agama yang berbeda-beda, tetapi tanpa memandang apakah ia tinggal di
Paris atau Dakar, mereka semua berbahasa dan berkultur Prancis dan semuanya
akan diwakili di dalam Parlemen di Paris
Cita-cita membentuk bloc francais tersebut berarti bahwa politik kolonial Prancis tidak
pernah memiliki suatu program untuk memajukan koloni menuju ke arah
pemerintahan sendiri. Sistem pemerintahan Prancis yang disebut “direct rule” sesungguhnya adalah
pemerintahan oleh pegawai-pegawai dari pemerintah metropolitan atau bedasarkan
kepentingan-kepentingan metropolitan. Dalam pemerintahan tersebut beberapa
orang dari daerah koloni ikut mengambil bagian. Dengan dasar mengasimilasi
penduduk, maka ditiap koloni sangat diperlukan munculnya kelompok-kelompok yang
berpendidikan dan berbudaya Prancis serta pemimpin-pemimpin politik. Di Senegal
dan kemudian menyusul Pantai Gading, kemudian ke arah fransifikasi Nampak
dengan jelas.
Untuk dapat menghasilkan
kelompok-kelompok yang berpendidikan Prancis, diperlukan adanya keadaan yang
tenang, diberi kesempatan mendapatkan pendidikan yang baik tetapi terbatas,
diselenggarakan pekerjaan umum dan dimasukkan kekuatan ekonomi baru. Namun
hasil yang dicapai ditiap koloni tidak sama. Bahkan ada koloni-koloni yang
tidak mungkin dikenakan politik asimilasi berhubung tingkat kemajuan penduduknya
masih sangat rendah atau sebaliknya telah memiliki kebudayaan yang sangat kuat.
Untuk koloni yang penduduknya masih rendah tingkat kemajuannya, politik
asimilasi diganti dengan polituk asosiasi. Pada politik asosiasi, pendidikan
diberikan kepada sekelompok kecil penduduk golongan elite yang kemudian akan
diajak bekerja sama dengan pegawai-pegawai Prancis untuk membawa kultur barat
kepada penduduk pada umumnya.
Sebelum 1939, telah dapat tercipta
kelompok elite yang amat kecil dan mereka itu dapat memperoleh kewarganegaraan
Prancis. Diatas telah diterangkan bahwa pemerintahan di koloni-koloni
dikendalikan dari Prancis. Secara hirarkis pemerintahan tersebut diatur seperti
piramida dengan Paris sebagai pucuk pimpinan. Kekuasaan dipegang oleh Menteri Tanah
Jajahan dan Parlemen dan melalui penguasa tertinggi di koloni diteruskan kepada
pegawai-pegawai yang lebih rendah di daerah-daerah. Dewan-dewan yang terdapat
di koloni-koloni hanya memiliki kekuasaan konsultatif.
Selain dalam struktur pemerintahan, pembatasan-pembatasan
juga dilakukan terhadap bidang ekonomi. Perkembangan ekonomi di koloni tidak
diperhatikan. Pembentukan industri tidak didorong, peraturan bea cukai
mengakibatkan koloni-koloni terkena system monopoli. Eksploitasi terhadap
koloni dijalankan dengan sungguh-sungguh.
Ketika Perang Dunia II berkobar, Prancis
diduduki oleh Jerman, sehingga terdapatlah pada waktu itu dua pemerintahan
Prancis. Prancis Vichy yang bersedia bekerja sama dengan pemerintahan Nazi
Jerman dan pemerintahan De Gaulle yang berada di Inggris. Pada 1943 kekuasaan
pemerintah Vichy di Afrika diusir dan nasib koloni-koloni berada di tangan
French Committee of National Liberation. Eboue, seorang pemimpin di Afrika
Tengah yang memihak pada pemerintah De Gaulle, mempunyai inisiatif untuk
mengadakan konferensi di Brazzaville (1944). Konferensi tersebut membicarakan
tentang masalah-masalah koloni dan dihadiri oleh Komisioner koloni, antara lain
Pleven dan pegawai-pegawai tinggi Prancis lainnya. Tujuannya membentuk
dewan-dewan perwakilan di koloni-koloni, membentuk sebuah Parlemen Koloni baru
di Paris dan mengadakan pembaharuan yang luas dalam bidang social dan ekonomi.
Walaupun konferensi bagi politik kolonial, namun harus diperhatikan bahwa
cita-cita pembaharuan itu tidak boleh melanggar prinsip “asimilasi”. Dengan
demikian maka konferensi tidak mungkin menghasilkan gagasan-gagasan untuk
mencapai otonomi.
Konferensi Brazzaville 1944 mengambil
keputusan yang mencakup tiga bidang :
a.
Organisasi
Politik
b.
Masalah-masalah
Sosial
c.
Masalah-masalah
Ekonomi.
Komentar
Posting Komentar