Perdagangan Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya Abad VII-XIII
Perkembangan
perdagangan maritim dan pusat-pusat niaga(emporium) menjadi kekuatan
politik(imperium) di Asia, khususnya Nusantara. Kekuatan politik yang mapan
merupakan factor pendukung utama bagi kerajaan-kerajaan pantai dapat berkembang
menjadi kerajaan dagang, khusunya dalam hubungannya dengan Cina dan India.
Kedua daerah itu merupakan nadi peradaban Asia, yang kelak mempengaruhi
perkembangan negeri-negeri yang menjalin hubungan dengannya, diantaranya adalah
Sriwijaya.
Sriwijaya
didirikan oleh seorang Melayu lokal di Sumatra, yakni Dapunta Hyang Sri
Jayanaga dari Dinasti Syailendra, dalam abad ke-7. Antara tahun 670-1025,
kerajaan ini mendominasi perdagangan di Asia Tenggara. Sriwijaya mampu
mengontrol dan memanfaatkan potensi perdagangan maritime Selat Malaka, suatu
kawasan paling penting dalam pelayaran antara India dan Cina. Esksistensinya
terletak pada kemampuannya dalam mengorganisasi pertukaran komoditi-komoditi
niaga Asia Tenggara untuk pasaran Cina dan Barat, yang dipusatkan di delta
sungai Musi, yang menghubungkan antara Palembang dengan pesisir pantai serta
daerah pedalaman.
Pada pertengahan
abad ke-7, terdapat dua pusat perdagangan pantai tenggara Sumatra, yakni
Palembang dan Jambi. Kedua pelabuhan itu pernah dikunjungi oleh peziarah Budha
dari Cina, I-Tsing. Dalam tahun 671, I-Tsing berlayar 29 hari lamanya ke
Sriwijaya lalu melanjutkan pelayaran ke sungai Timur(India). Dalam abad ke-7,
Sriwijaya merupakan tempat belajar agama Budha Mahayana. Dari catatan I-Tsing
diperoleh informasi, bahwa disana terdapat lebih dari seribu pendeta Budha.
Aturan dan upacara mereka sama dengan yang ada di India.
Posisi Sriwijaya
sangat strategis di Sumatra dalam hubungan internal antara tiga kesatuan
wilayah : Tanah Tinggi Sumatra bagian barat (Pegunungan Bukit Barisan), daerah
kaki bukit dan pertemuan anak sungai sewaktu memasuki daratan rendah, dan
daerah pesisir timur laut. Sriwijaya juga mampu mengontrol lalu lintas
perdagangan maritime di Selat Malaka dan Selat Sunda. Posisi itu membuat para
penguasanya lebih mudah menarik pajak perdagangan maritime antara India dan
Cina. Penguasa Sriwijaya terkenal sebagai raja-raja pelaut. Mereka berhasil
menaklukkan pantai-pantai Semenanjung Malaya. Karena itulah Sriwijaya dipandang
sebagai “kerajaan kelautan” awal Indonesia.
Dalam membangun
kekuatan dan kekuasaannya, para maharaja Sriwijaya melakukan lima langkah
strategis.
1.
Memudarkan
pengaruh dan kuasa kerajaan-kerajaan pelabuhan pesisir di Sumatra dan
Semenanjung Malaya serta Jawa.
2.
Mengontrol jalur
pelayaran dan niaga maritime dari dan ke Nusantara, Cina, dan India(termasuk ke
Laut Tengah)
3.
Memantapkan
hubungan niaga dan politik dengan negeri-negeri yang telah ditaklukkannya
(disebut vassal) untuk membangun koordinasi kekuasaan yang kuat dibawah
Sriwijaya.
4.
Menjalin
hubungan niaga dan diplomatic dengan Cina.
5.
Memperkuat
control atas wilayah kekuasaannya di laut dengan memanfaatkan sumber daya
manusia yang kuat dan berpengalaman di laut, baik sebagai pengembara maupun
bajak laut, melalui hubungan kerjasama saling menguntungkan.
Pada abad ke-13,
sebuah sumber sejarah menyebutkan bahwa Sriwijaya merupakan tempat yang dilalui
kapal asing, hasil semua negeri ditahan di sana dan disimpan untuk dijual ke
kapal singgah. Penduduknya tinggal tersebar di luar kota. Bila menghadapi
musuh, mereka berani mati, mereka tidak ada tandingannya di antara
bangsa-bangsa lain.
Sumber Arab
berasal dari Ibn Hordadzbeh tahun 844-848, mengatakan bahwa raja Zabag disebut maharaja. Kekuasaanya meliputi
pulau-pulau di lautan Timur, hasil negerinya adalah kapur barus. Terdapat
banyak gajah disana. Setiap hari maharaja menerima 200 Mann emas. Emas-emas itu
dilebur menjadi satu batang emas, kemudian dilemparkan ke air. Pada tahun 902,
Ibn al-Fakih memberitakan bahwa barang dagangan kerajaan itu terdiri dari
cengkih, kayu cendana, kapur barus, dan pala. Pelabuhannya yang besar di pantai
barat Sumatra adalah Barus. Raja menguasai banyak pulau-pulau, antara lain
Sribuza dan Rami, juga Kalah. Hasil buminya adalah kayu gaharu, kapur barus,
kayu cendana, gading, timah, kayu hitam, kayu sapan, dan rempah-rempah.
Dari jenis
komoditi perdagangan, Sriwijaya mengendalikan perdagangan hasil bumi Nusantara.
Cengkih dan pala misalnya dari Maluku, sedangkan kayu cendana dari pulau Timor,
Nusa Tenggara. Menurut Tome Pires, komoditi-komoditi tersebut hanya terdapat di
negeri-negeri itu, tidak ada di tempat lain.
Bedasarkan
berita Cina, pada tahun 1003, raja Selichulawunifumatiauhwa (Sri
Cumadamaniwarmadewa) mengirim dua utusan ke Cina untuk membawa upeti. Utusan
itu mengatakan bahwa di negerinya didirikan bangunan suci agama Budha, bernama
Chengtienwashou, untuk memuja agar kaisar panjang umur. Pendirian bangunan suci
itu, selain karena kepentingan agama dan hubungan politik antara Sriwijaya
dengan Cina dan Chola(India), juga merupakan wujud kemakmuran negeri itu.
Zhao Rugua, pada
abad ke-13, dalam bukunya Zhu Fan Zhi, menulis
bahwa dinding-dinding ibukota Sriwijaya terbuat dari batu-bata, dengan diameter
sampai beberapa puluh Li(1 Li = 576 meter). Ketika meninggalkan istana, raja
menggunakan sebuah perahu, mengenakan sarung. Dia dilindungi dari terik
matahari dengan sebuah payung sutra. Para pengawalnya membawa tombak emas. Di
kota itu terdapat sebuah patung Budha terbuat dari emas. Orang-orang memberi
penghormatan kepada patung ini dan memberi persembahan mangkuk emas. Pada
upacara-upacara kerajaan, raja mengenakan mahkota yang tinggi dan berat yang
penuh bertakhtakan ratusan permata. Dari hasil temuan arkeologi, menunjukkan
bahwa kebanyakan perdagangan dilaksanakan dengan system barter dan pada saat
itu juga telah digunakan keeping-keping perak sebagai alat tukar perdagangan.
Sriwijaya juga
melakukan hubungan dengan kerajaan Chola di India Selatan. Hubungan ini selain
untuk tujuan politik dan ekonomi, juga pengembangan agama Budha Mahayana di
Sriwijaya. Hubungan ini tidak berlangsung baik secara terus-menerus. Tahun
1007, raja Chola mulai memperluas kekuasaannya dengan jalan penaklukkan ke
timur. Raja Chola mengklaim telah menaklukkan 12.000 pulau. Pada tahun 1012,
Raja Chola Rajendracola bergerak maju ke wilayah Sriwijaya di Semenanjung.
Kemudian dilanjutkan tahun 1025, yang menyebabkan perpindahan ibukota dari
Palembang ke Jambi.
Komentar
Posting Komentar